Living Museum Kemantren Jetis

Dalam rangka menyambut Peringatan Hari Keistimewaan DI Yogyakarta, 31 Agustus 2023 pukul 13.00 WIB dengan titik kumpul di Klenteng Poncowinatan, dilaksanakanlah kegiatan Living Museum Kemantren Jetis yang mengambil tema "Harmony in Arts". Living Museum Kemantren Jetis tahun ini berkonsep walking tour ke beberapa situs yang ada di Kelurahan Cokrodiningratan Kemantren Jetis Yogyakarta. Sejarah akan perkembangan Tugu Golong Gilig menjadi Tugu Pal Putih hingga akulturasi budaya Tionghoa akan menjadi sajian yang akan dinarasikan dalam Jetis Living Museum 2023.
Rute dari Jetis Living Museum 2023 adalah sebagai berikut:
1. Klenteng Poncowinatan sebagai Titik Kumpul. 
Disini wisatawan akan dijelaskan mengenai sejarah dari Kwan Tee Kiong  atau sering dikenal oleh masyarakat Yogyakarta yaitu Kelenteng Poncowinatan. Terhitung dari perayaan ulang tahun pada 2023 yang berusia 142 tahun. Letak dari Kelenteng terbilang strategis karena berdampingan langsung dengan Pasar Kranggan, yang menjadi salah satu pusat perekonomian masyarakat Tionghoa pada masa itu. Berdiri diatas tanah seluas 6000 meter persegi, namun saat ini Kelenteng Poncowinatan hanya berdiri pada luas 2000 meter persegi saja.
Kompleks Klenteng terdiri atas beberapa bangunan, yaitu: Bagian tengah merupakan bangunan utama, digunakan untuk pemujaan yang terdiri dari beberapa ruang, yaitu Ruang Suci Utama yang dikelilingi ruang pemujaan lainnya, dan ruangan yang digunakan sebagai gudang dan ruang untuk tempat tinggal penjaga. Bangunan Klenteng berdenah persegi panjang, pada sudut-sudut atap melengkung ke atas, dihiasi dengan hiasan naga, yang diyakini sebagai penolak bala semacam kebakaran yang sangat mungkin terjadi.

2. Museum Cerutu MARIKITA (Museum yang dimaksud pada bagian ini adalah "wadah" dari peninggalan "Immaterial". Tim penyusun
tidak dapat menampilkan bukti bukti material mengenai eksistensi peninggalan Cerutu Marikita)
Cerutu Tembakau, tanpa keraguan pernah menjadi suatu komoditas raksasa yang pernah beroperasi di secara luas di wilayah Yogyakarta, khususnya di Kemantren Jetis. Tempat yang terdapat dalam foto di samping ini secara sekilas terlihat hanya seperti rumah biasa, namun di sini tinggal seorang ibu paruh baya yang saat ini sedang asyik menjalankan usaha produksi kain
jumput yang ia kembangkan. Dibalik itu semua, beliau adalah generasi terakhir dari pengelola industri produksi tembakau dan cerutu lokal yang pernah "bersaing" dengan perusahaan perusahaan tembakau "asing" lainnya.
Taru Martani mungkin menjadi sebuah nama yang cukup dikenal oleh para pengusaha dan penggiat ekonomi jika membicarakan tentang industri produksi cerutu di Yogyakarta. Namun, banyak yang tidak tahu bahwa pernah terdapat sebuah perusahaan cerutu tembakau lokal yang dianggap "meniru"; "versi kecil" dari PT. Taru Martani. Perusahaan ini bernama "PT. Marikita", yang merupakan pabrik rokok cerutu lokal yang didirikan oleh Bapak Sirien, seorang supir dari tenaga ahli PT. Taru Martani asal belanda, Habraken. Habraken pada perusahaan tersebut bertanggung jawab pada pengelolaan mesin produksi rokok. Namun karena alasan yang belum dipastikan, Habraken kembali ke Belanda. Sebelum kembali, Habraken memberikan mesin produksi bekas pakai PT Taru Martani kepada supirnya, bapak Silien. Berbekal ilmu yang Ia peroleh selama menjadi sopir karyawan pabrik rokok Taru Martani, Bapak Silien mendirikan sebuah pabrik rokok lokal dalam skala kecil. Pabrik rokok tersebut sukses besar, bahkan hasil produksi berhasil mencapai pasar tembakau-cerutu di Jawa Barat.
Kepengelolaan Pabrik Tembakau Lokal tersebut berlanjut hingga generasi setelah Bapak Silien, yaitu Ayah dan Ibu dari Bu Siti. Bu Siti bersama kedua orang tuanya melanjutkan kepengelolan pabrik tersebut hingga ditutupnya pabrik pada tahun 1992 karena permasalaan administrasi kepegawaian. Meninggalnya Ibu dari Bu Siti berpengaruh besar pada kelanjutan pabrik, jumlah pegawai terus menurun hingga tahun 1991, hanya tersisa 20 karyawan yang juga terus menurun. Pabrik akhirnya ditutup karena berbagai pertimbangan, salah satunya adalah mahalnya izin yang perlu dibayar kepada Bea Cukai. Di sisi lain, hasil produksi PT Marikita tetap menghasilkan profit bahkan hingga ditutupnya pabrik yang sekarang telah beralih fungsi sebagai bangunan kos. Ide dari dekonstruksi perusahaan cerutu lokal miliknya telah lama direncanakan, namun masih terkendala dengan urusan administrasi serta perizinan yang semakin sulit untuk pasar komoditas tembakau. Ide dekonstruksi ini dapat
menjadi pertimbangan lanjut dalam memberdayakan usaha produksi cerutu tembakau lokal yang berpotensi bersaing di pasar yang lebih luas.

3. SMAN 11
SMAN 11 Yogyakarta, sebuah lembaga pendidikan menengah akhir yang terletak di kelurahan Cokrodiningratan. Gedung pertama dibangun pada tahun 1897 dan digunakan sebagai gedung Kweekschool (Sekolah Guru zaman kolonial Belanda). Kini sekolah ini dikenal dengan SMA kebangsaan, dan telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang merupakan tempat diselenggarakannya Kongres Pertama Budi Utomo pada tahun 1908.
Budi Utomo merupakan organisasi yang didirikan oleh Dr. Soetomo dan mahasiswa-mahasiswa STOVIA. Kongres ini menjadi langkah besar pada pergerakan nasional, serta semangat persatuan melawan penjajahan. SMAN 11 Yogyakarta menghormati warisan ini dengan pendidikan yang berkualitas dan semangat cinta tanah air. Fakta ini dapat ditemukan dengan banyaknya unsur sejarah yang kuat dan masih terlestari dengan baik oleh pihak sekolah.